Thursday, January 18, 2018

USBN SD Ditetapkan Hanya Tiga Mata Pelajaran


Rencana pemerintah menguji delapan mata pelajaran (mapel) dalam ujian sekolah berstandar nasional (USBN) tahun ini akhirnya batal dilaksanakan. Pemerintah menetapkan siswa sekolah dasar (SD) hanya diuji tiga mapel. 


Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan   (BSNP) Bambang Suryadi mengatakan, setelah dibahas kembali di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) maka USBN untuk siswa SD hanya akan menguji tiga mata pelajaran. Pihaknya akan menyiapkan langkah selanjutnya  agar  pelaksanaan USBN berjalan dengan lancar. “Berdasarkan pembahasan internal Kemendikbud, USBN SD/MI untuk tiga mapel,” katanya kepada  KORAN SINDO kemarin. 



Dosen UIN Syarif Hidayatullah  ini  menjelaskan, tiga mapel ini ialah Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Diketahui pada ujian sekolah (US) tahun ajaran 2016/2017, siswa SD hanya mengerjakan tiga mapel tersebut.  Sebelumnya diwacanakan USBN menguji Bahasa Indonesia, IPA, Matematika, IPS, Pendidikan Kewarganegaraan, Seni Budaya dan Prakarya,  Pendidikan  Jasmani Olahraga dan Kesehatan, serta Pendidikan Agama. 



Bambang mengatakan, dipilihnya tiga mapel itu saja karena ketiganya   dianggap   sebagai mapel utama atau fondasi yang mesti dikuasai siswa. Selain itu, juga kesiapan dan kemampuan guru-guru dalam menyiapkan soal untuk mapel yang lain perlu dilakukan dengan matang.BSNP sudah menyiapkan kisi-kisi soal ujiannya. 



Menurut  Bambang,  para siswa SD ini akan menghadapi USBN sekitar April atau Mei. Mengenai kepastian  tanggalnya,  pemerintah  menyerahkan secara langsung kepada sekolah. “Jadwal ditentukan oleh masing-masing satuan pendidikan. Sekitar akhir April atau Mei,” jelasnya. 



Kepala  Bidang  Pusat  Penilaian Pendidikan Kemendikbud Giri Sarana Hamiseno menyatakan, finalisasi USBN hanya tiga mapel akan ditentu-
kan  hari  ini,  Selasa  (1/9/2018). “USBN tiga mapel besok akan difinalkan,” katanya. 



Peneliti  Center  for  Indonesian Policy Studies (CIPS) Sugianto Tandra mengatakan, pemerintah  perlu  mempertimbangkan dengan matang apakah rencana kebijakan ini akan  memunculkan  kondisi pembelajaran  yang  menambah stres anak didik, seperti yang kerap dikeluhkan selama ini. Apalagi kebijakan ini juga mempertimbangkan penambahan beban yang diujikan yang dikhawatirkan  akan  memberatkan  anak  didik  maupun guru yang harus mempersiapkan mereka. 



“Ujian  seharusnya  tidak mesti didesain seperti itu, apalagi untuk diadakan setiap tahun. Selain penambahan beban yang perlu dipertimbangkan,  perlu  dipertimbangkan pula ujian yang dilaksanakan setiap tiga tahun sekali,” ujarnya. 



Dia mengatakan,  pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan yang bisa memastikan anak bisa belajar tanpa stres atau tertekan. Oleh karena itu, penambahan beban yang diujikan menjadi tidak tepat. 



Lebih lanjut Sugianto juga menjelaskan, ide untuk memberikan pertanyaan esai dalam USBN  perlu didukung dengan pelajaran seperti Menulis Akademik. 



Hal ini perlu diajarkan sejak kecil, misalnya bagaimana menulis  esai  sederhana dalam lima paragraf. Hal ini juga harus dipertimbangkan oleh pemerintah karena belum semua siswa di Indonesia sudah mendapatkan cukup panduan terkait menulis akademis. 



Pengamat pendidikan Eduspec  Indonesia  Indra  Charismiadji  berpendapat, bukan masalah   jumlah mapelnya yang perlu diperdebatkan, melainkan konsep evaluasi siswa ini yang harus dijelaskan. “Katanya enggak mau ada ujian. Sekarang malah dimunculkan lagi,” ungkapnya. 



Dia mengatakan, Kemendikbud harus bisa  meyakinkan dan menjelaskan bahwa keputusan tersebut memang yang terbaik bagi bangsa.













Sumber : SINDO

Pendidikan Popular – Membangun Kesadaran Kritis

Saat ini banyak berkembang pelbagai alternatif pendidikan untuk masyarakat. Mulai dari privat, homeschooling (sekolah rumah –red), sekolah alternatif, les, dsb. Intinya, pendiikan alternatif merupakan simbol dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan formal (baca: sekolah) pada umumnya.
Pendidikan formal atau sekolah saat ini masih memiliki kesan tradisional dan membosankan, karena pusat pengetahuan hanya diperankan oleh guru. Guru dianggap segala-galanya. Dalam konteks ini, akhirnya pendiikan bersifat negatif, di mana guru  memberikan informasi yang harus ditelan oleh murid wajib diingat dan dihafalkan.
Untuk merubah kesan tradisional dan sangat indoktrinasi di dalam pendiikan formal, maka tak jemu pakar pendidikan mendengungkan model pendiikan partisipatif. Model inilah yang menekankan guru sebagai fasilitator. Seluruh eserta didik menjadi subjek pengetahuan dan aktif meningkatkan keterampilan. Guru adalah murid dan murid adalah guru. Usaha ini ditujukan kepada seluruh institusi pendiikan agar sistem pendiikan menjadi lebih baik.
Namun tak dapat dipungkiri, dari sekian banyak pendidikan alternatif yang ditawarkan, pada umumnya belum memenuhikriteria ‘pembebasan’ terhadap permasalahan masyarakat. Walaupun sudah menggunakan model partisipatif, tidak sedikit yang mengolah pendidikan alternatif menjadi komoditas dagang. Mengutamakan modernisasi peralatan belajar, fasilitas baru, menggunakan prestasi sebagai proses persaingan peserta didik, dan pendidikan dianggap tidak memiliki pengaruh terhadap politik dan ekonomi masyarakat. Sedangkan pendekatannya masih sangat didominasi dengan aliran positivisme: yakni penggunaan pengetahuan untuk mengontrol, memprediksikan, memanipulasi, dan eksploitasi terhadap objeknya.
Implikasi dari metode pendekatan pendidikan positivisme adalah kesadaran magis dan naif. Kesadaran magis, yakni suatu keadaan masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya, masyarakat miskin tidak tahu kalau kemiskinan yang dimilikinya memiliki benang merah terhadap sistem politik dan budaya. Karena yang dipahami, kemiskinan yang didapatnya adalah suatu hal yang wajar dan merupakan ‘given’ (natural maupun supranatural). Dalam proses pembelajaran, murid secara dogmatik menerima kebenaran guru, tanpa memahami analisa dari tiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Sedangkan kesadaran naif adalah implikasi dari pendidikan yang melihat akar permasalahan masyarakat dari ‘aspek manusia’. Dalam kesadaran ini ‘masalah etika, kreativitas, performance, need for achievement (N Ac)’ dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Dalam menganalisis kenapa masyarakat miskin, karena disebabkan kesalahan mereka sendiri: yakni malas, tidak memiliki jiwa enterpreneur, bodoh dsb. Implikasi pendidikan ini mengarahkan manusia untuk beradaptasi dengan sistem yang sudah ada.
Untuk itu buku ini menawarkan tujuan dan filosofi pendidikan dari salah seorang pendidik dunia asal Brazil, Paulo Freire. Perspektif pendidikan aliran Freire adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan ideologi dominan yang tengah berlaku di masyarakat, serta menganalisis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya serta melatih mengidentifikasi ‘ketidakadilan’. Kemudian merubah sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju masyarakat yang adil.
Di sini, Mansour Fakih dkk. menuliskan penekanan proses dan teknis berdasarkan pengalaman mereka di lapangan. Membangun kesadaran kritis pendidikan partisipatif bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan peran fasilitator yang harus bisa menciptakan dan menggunakan media sebagai alat komunikasi pembelajaran.
Sekali lagi,buku ini lebih banyak memuat teknis silabus, cerita maupun berita kontroversial, permainan, analisis politik dan budaya di kota maupun di desa, dan lain sebagainya. Teknis-teknis ini diselingi artikel-artikel yang memuat pemahaman pendidikan kritis sebagai alat transformasi sosial. Pendidikan diartikan”tanpa dinding”, artinya penempatan pendidikan tidak melulu di pendidikan formal (sekolah –red), tapi bisa digunakan oleh massa petani, nelayan, dan rakyat kecil untuk melakukan transformasi sosial.
—–M. Irham
__________
Judul : Pendidikan Popular – Membangun Kesadaran Kritis
Pengarang: Mansour Fakih dkk.
Penerbit: 
Read Book, Yogyakarta
Source : REB Magazine

Tuesday, January 16, 2018

Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016: Komite Sekolah Boleh Galang Dana

Dengan pertimbangan untuk meningkatkan layanan mutu pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy memandang perlu dilakukan revitalisasi tugas Komite Sekolah berdasarkan prinsip gotong royong. Atas dasar pertimbangan tersebut, pada 30 Desember 2016, Mendikbub menandatangani Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor: 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Dalam peraturan ini disebutkan, bahwa Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orangtua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
“Komite Sekolah berkedudukan di tiap sekolah, berfungsi dalam peningkatan pelayanan pendidikan; menjalankan fungsinya secara gotong royong, demokratis, mandiri, profesional, dan akuntabel,” bunyi Pasal 2 ayat (1,2,3) Permendikbud itu.
Menurut Permendikbud ini, anggota Komite Sekolah terdiri atas:
a. Orangtua/wali dari siswa yang masih aktif pada sekolah yang bersangkutan paling banyak 50% (lima puluh persen);
b. Tokoh masyarakat paling banyak 30% (tiga puluh persen), antara lain: 1. Memiliki pekerjaan dan perilaku hidup yang dapat menjadi panutan bagi masyarakat setempat; dan/atau 2. Anggota/pengurus organisasi atau kelompok masyarakat peduli pendidikan, tidak termasuk anggota/pengurus organisasi profesi penduduk dan pengurus partai politik;
c.  Pakar pendidikan paling banyak 30% (tiga puluh persen), antara lain: 1. Pensiunan tenaga pendidik; dan/atau 2. Orang yang memiliki pengalaman di bidang pendidikan.
“Anggota Komite Sekolah berjumlah paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 15 (lima belas) orang,” bunyi Pasal 4 ayat (2) Permendikbud itu.
Ditegaskan dalam peraturan itu, bahwa bupati/wali kota, camat, lurah/kepala desa merupakan pembina seluruh Komite Sekolah sesuai dengan wilayah kerjanya.
Menurut Permendikbud ini, anggota Komite Sekolah dipilih melalui rapat orangtua/wali siswa, dan ditetapkan oleh Kepala Sekolah yang bersangkutan, dengan masa jabatan paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Keanggotaan Komite Sekolah berakhir apabila:
a. Mengundurkan diri;
b. Meninggal dunia;
c. Tidak dapat melaksanakan tugas karena berhalangan tetap; atau
d. Dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penggalangan DanaDalam Permendikbud ini disebutkan, Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana, serta pengawasan pendidikan.
“Penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan,” bunyi Pasal 10 ayat (2) Permendikbud ini.
Namun ditegaskan dalam Permendikbud ini, bahwa Komite Sekolah harus membuat proposal yang diketahui oleh Sekolah sebelum melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat. Selain itu, hasil penggalangan dana harus dibukukan pada rekening bersama antara Komite Sekolah dan Sekolah.
Hasil penggalangan dana tersebut dapat digunakan antara lain:
a. Menutupi kekurangan biaya satuan pendidikan;
b. Pembiayaan program/kegiatan terkait peningkatan mutu sekolah yang tidak dianggarkan;
c. Pengembangan sarana/prasarana; dan
d. Pembiayaan kegiatan operasional Komite Sekolah dilakukan secara wajar dan dapat dipertanggung jawabkan.
Sementara penggunanaan hasil penggalangan dana oleh Sekolah harus:
a.  Mendapat persetujuan dari Komite Sekolah;
b. Dipertanggungjawabkan secara transparan; dan
c. Dilaporkan kepada Komite Sekolah.
“Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 16 Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 yang telah diundangkan oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana pada 30 Desember 2016.

Source:  setkab

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik