Wednesday, October 11, 2017

Penguatan Pendidikan Karakter Tak Melulu Soal Akademis

Usai ujian akhir semester, Martin seorang guru mata pelajaran sibuk menyiapkan nilai para siswanya. Selain nilai akademis, ia memberi penilaian terkait pencapaian non-akademis para siswa di sekolah.
Lembaga pendidikan tempat ia mengampu di Jakarta Selatan memang mengadaptasi kurikulum pelajaran internasional. Penilaian seorang siswa di sekolah itu dilakukan tak semata berdasarkan nilai akademis.

Sejalan dengan penerapan program Penguatan Pendidikan Karakter, para guru di seluruh sekolah di Indonesia pun akan melakukan hal serupa.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hingga kini masih menyiapkan Peraturan Menteri (Permen) terkait program itu.

Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, salah satu wujud nyata pendidikan karakter di sekolah adalah dengan mengembangkan minat dan bakat siswa.

Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berencana mewajibkan semua sekolah menerbitkan rapor dengan nilai ganda yang bisa diterapkan mulai 2018. 

Para guru nantinya akan memberi laporan nilai akademis dan pengembangan kepribadian siswa.
"Rapor ini memaksa guru untuk scouting, mencari minat dan bakat dari anak itu," kata Muhadjir dalam Forum Merdeka Barat 9 di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rabu (30/8/2017).

Selama ini, seorang siswa dianggap berprestasi di sekolah bila nilai akademisnya gemilang. Pemerintah berharap sekolah, utamanya para guru, mulai menghilangkan penyeragaman itu.

Howard Gardner, seorang profesor psikologi dari Harvard University mengemukakan teori kecerdasan jamak (multiple intelligence). Gardner mengidentifikasi sejumlah kecerdasan yakni musical/rhythmic intelligence bodily/kinesthetic intelligence, logical/mathematical intelligence, visual/spatial intelligence, verbal/linguistic intelligence, interpersonal intelligence, dan intrapersonal intelligence. Dalam perkembangannya ada satu jenis kecerdasan tambahan yakni naturalistic intelligence.

Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses pengembangan potensi individu. Melalui pendidikan, potensi yang dimiliki oleh individu akan diubah menjadi kompetensi. Sementara, kompetensi mencerminkan kemampuan dan kecakapan individu dalam melakukan suatu tugas atau pekerjaan.Tugas pendidik atau guru dalam hal ini adalah memfasilitasi anak didik sebagai individu untuk dapat mengembangkan potensi yang dimikili tiap siswa menjadi kompetensi, sesuai dengan cita-citanya. 

Oleh karena itu, proses pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung di sekolah harus berorientasi kepada invidu peserta didik. Penerapan pendidikan karakter juga tak mesti dilakukan semua oleh sekolah jika memiliki keterbatasan sumber daya. Sekolah bisa saja bekerja sama dengan lembaga lokal yang letaknya tak jauh dari gedung pendidikan.

Misalnya, ada sekolah yang dekat dengan tempat kursus tari, maka sekolah dapat memanfaatkan tempat kursus itu sebagai wadah mengembangkan minat dan bakat siswanya.
"Biar sekolah itu menjadi sentra belajar, dan lingkungan sekitar dijadikan sumber-sumber belajar," ujar Muhadjir.

Demikian pula bila sekolah itu dekat dengan tempat latihan sepak bola, maka sekolah itu dapat mengembangkan bakat bermain bola siswanya. Muhadjir mengaku bermimpi Indonesia bisa memiliki  satu tim sepak bola yang berkualitas dunia dari hasil pencarian bakat siswa SD di seluruh sekolah. Siswa-siswa yang berbakat sepak bola mesti digembleng dan diarahkan berdasarkan minat dan bakatnya sejak dini. 

"Kami akan buat recruitment dan membibit para pemain bola mulai sejak SD. Saya yakin kalau anak-anak itu belajar dari kecil, mendapatkan 11 pemain yang bisa mengalahkan Malaysia, Saya kira tidak sulit," tuturnya. Prestasi non-akademik seperti ini diharapkan dapat menjadi portofolio siswa-siswi tersebut untuk masuk ke perguruan tinggi maupun dunia kerja. 

“Dengan pendidikan karakter, setiap anak adalah istimewa, punya keunikan yang tidak bisa disamaratakan," katanya.






kompas.com
Source : KOMPAS




Protes Tere Liye dan Jalan Sunyi Dunia Literasi


Sejak 1964, UNESCO menetapkan tanggal itu sebagai Hari Literasi Internasional. Namun, jalan literasi boleh dibilang masih sunyi di Indonesia.
 
Jangankan untuk mendongkrak minat baca masyarakat, kesejahteraan penulis masih jauh panggang dari api. Boro-boro mematok standar buku berkualitas, penulis buku bisa hidup layak pun butuh nyali tersendiri.

Lalu, dalam pekan yang sama dengan peringatan Hari Literasi Internasional pada tahun ini, jagat literasi Indonesia juga justru disentil oleh salah satu penulis produktif kekinian, Tere Liye.
Penulis yang pertama kali mengentak dunia perbukuan dengan novel Hafalan Shalat Delisa tersebut pada Selasa (5/9/2017) lewat akun media sosialn menyatakan menarik diri dari industri perbukuan. Perhitungan pajak yang dikenakan kepada penulis jadi pangkal persoalan.

Pro dan kontra pun sontak bermunculan, termasuk dari kalangan penulis. Namun, Dewi Lestari—pemilik nama pena Dee—mengakui ranah kepenulisan memang sudah jamak dianggap sebagai dunia prihatin. 

Penghasilan yang didapat tak sebanding dengan upaya untuk memunculkan buku berkualitas. “Tidak mudah mengandalkan hidup dari menulis,” ujar Dewi saat dihubungi melalui telepon, Jumat (8/9/2017).

Sebelumnya, Dewi menulis panjang lebar juga di akun media sosialnya soal polemik yang dimulai dari protes Tere Liye. Dia beri judul statusnya itu Royalti dan Keadilan.

Di situ, Dewi antara lain memunculkan ilustrasi pendapatan penulis dari setiap eksemplar buku yang terjual dan hitungan potongan pajak yang dikenakan.

Genggamlah sebuah buku dan bayangkan bahwa 90% dari harga banderol yang Anda bayar adalah untuk aspek fisiknya saja. Hanya 10% untuk idenya (bisa 12,5 – 15% kalau punya bargaining power ekstra). Lalu, penulis berhadapan dengan negara. Potongan kue kami yang mungil itu dipotong lagi lima belas persen, tak peduli kami hidup seperti burung hantu, wara-wiri untuk riset, merogoh kocek untuk 365 cangkir kopi per tahun, atau apa pun juga. It’s done deal. Kami tidak akan pernah mengecap seratus persen penerimaan royalti karena pemotongan itu bersifat langsung. Lalu, sisanya kami masukkan ke dalam pendapatan tahunan. Bulat utuh menjadi pendapatan kena pajak dan masih harus menghadapi hitungan pajak berjenjang.

Berlanjut ke pembicaraan telepon, Dewi menyebut butuh 6 bulan hingga setahun untuk merampungkan satu buku. Waktu, sebut dia, adalah investasi terbesar dari setiap penulis.

Sudah begitu, rata-rata pembayaran royalti dilakukan per enam bulan. Itu juga kalau laris bukunya untuk bisa dapat angka yang “bisa dilihat”.

“Akhirnya, menulis sering jadi kerja sambilan. Kalau penulis mau total dan berdedikasi, buku yang bisa menghidupi itu jadi penting,” kata Dewi.

Sudah jadi rahasia umum, sesama penulis kerap saling membesarkan hati dengan kilah, “Menulis adalah pengabdian.” Namun, menurut Dewi setiap pekerjaan pada dasarnya juga adalah pengabdian.
“(Tantangannya), masa sih kita tak bisa makan dari pekerjaan yang kita cintai itu?" tanya Dewi.

Perempuan yang antara lain melejit lewat kumpulan cerpen Filosofi Kopi ini pun menengarai, banyak penulis tak bertindak seperti Tere Liye kemungkinan karena saking kecilnya royalti yang mereka dapatkan selama ini.

Di statusnya itu, Dewi pun mendapati bahwa pendapatan bagi penulis kerap dianggap dan diperlakukan sebagai penghasilan pasif. Menurut dia, poin inilah yang jadi pangkal persoalan soal pajak bagi penulis.

Kesepian

Padahal, tren buku cetak di Indonesia masih membukukan pertumbuhan di atas 10 persen per tahun, setidaknya menurut Arys Hilman, CEO Republika Penerbit—perusahaan yang pertama kali melejitkan nama dan karya-karya Tere Liye.

“Buku masih dicari orang. Sudah ada perhatian dari Pemerintah, tapi masih parsial pada kementerian-kementerian tertentu,” kata Arys, saat dihubungi melalui telepon, Jumat siang.

Urusan buku dan literasi seolah masih jadi urusan kementerian di bidang pendidikan saja. Kalaupun ada instansi lain, kata Arys, paling Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). 

Padahal, lanjut Arys, kalau mau meningkatkan literasi maka pengadaan buku di semua daerah harus berdasarkan kualitas dan menakar minat pembaca.

“(Praktiknya), masih ada perpustakaan cari (buku) karena diskon tinggi. Siapa yang mau datang ke perpustakaan kalau begitu?” ungkap Arys.

Butuh turun tangannya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, untuk pemenuhan kebutuhan buku berkualitas di perdesaan. Belum lagi pilihan buku topik agama, buku soal perempuan, yang masing-masing ada kementeriannya juga.
kompas.com
Source : Kompas

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik