Sejak 1964, UNESCO menetapkan tanggal itu sebagai Hari Literasi
Internasional. Namun, jalan literasi boleh dibilang masih sunyi di
Indonesia.
Jangankan untuk mendongkrak minat baca masyarakat,
kesejahteraan penulis masih jauh panggang dari api. Boro-boro mematok
standar buku berkualitas, penulis buku bisa hidup layak pun butuh nyali
tersendiri.
Lalu, dalam pekan yang sama dengan peringatan Hari
Literasi Internasional pada tahun ini, jagat literasi Indonesia juga
justru disentil oleh salah satu penulis produktif kekinian, Tere Liye.
Penulis yang pertama kali mengentak dunia perbukuan dengan novel Hafalan Shalat Delisa
tersebut pada Selasa (5/9/2017) lewat akun media sosialn menyatakan
menarik diri dari industri perbukuan. Perhitungan pajak yang dikenakan
kepada penulis jadi pangkal persoalan.
Pro dan kontra pun sontak bermunculan, termasuk dari kalangan
penulis. Namun, Dewi Lestari—pemilik nama pena Dee—mengakui ranah
kepenulisan memang sudah jamak dianggap sebagai dunia prihatin.
Penghasilan
yang didapat tak sebanding dengan upaya untuk memunculkan buku
berkualitas. “Tidak mudah mengandalkan hidup dari menulis,” ujar Dewi
saat dihubungi melalui telepon, Jumat (8/9/2017).
Sebelumnya, Dewi
menulis panjang lebar juga di akun media sosialnya soal polemik yang
dimulai dari protes Tere Liye. Dia beri judul statusnya itu Royalti dan Keadilan.
Di
situ, Dewi antara lain memunculkan ilustrasi pendapatan penulis dari
setiap eksemplar buku yang terjual dan hitungan potongan pajak yang
dikenakan.
“Genggamlah sebuah buku dan bayangkan bahwa 90%
dari harga banderol yang Anda bayar adalah untuk aspek fisiknya saja.
Hanya 10% untuk idenya (bisa 12,5 – 15% kalau punya bargaining power
ekstra). Lalu, penulis berhadapan dengan negara. Potongan kue kami yang
mungil itu dipotong lagi lima belas persen, tak peduli kami hidup
seperti burung hantu, wara-wiri untuk riset, merogoh kocek untuk 365
cangkir kopi per tahun, atau apa pun juga. It’s done deal. Kami tidak
akan pernah mengecap seratus persen penerimaan royalti karena pemotongan
itu bersifat langsung. Lalu, sisanya kami masukkan ke dalam pendapatan
tahunan. Bulat utuh menjadi pendapatan kena pajak dan masih harus
menghadapi hitungan pajak berjenjang.”
Berlanjut ke
pembicaraan telepon, Dewi menyebut butuh 6 bulan hingga setahun untuk
merampungkan satu buku. Waktu, sebut dia, adalah investasi terbesar dari
setiap penulis.
Sudah
begitu, rata-rata pembayaran royalti dilakukan per enam bulan. Itu juga
kalau laris bukunya untuk bisa dapat angka yang “bisa dilihat”.
“Akhirnya,
menulis sering jadi kerja sambilan. Kalau penulis mau total dan
berdedikasi, buku yang bisa menghidupi itu jadi penting,” kata Dewi.
Sudah
jadi rahasia umum, sesama penulis kerap saling membesarkan hati dengan
kilah, “Menulis adalah pengabdian.” Namun, menurut Dewi setiap pekerjaan
pada dasarnya juga adalah pengabdian.
“(Tantangannya), masa sih kita tak bisa makan dari pekerjaan yang kita cintai itu?" tanya Dewi.
Perempuan
yang antara lain melejit lewat kumpulan cerpen Filosofi Kopi ini pun
menengarai, banyak penulis tak bertindak seperti Tere Liye kemungkinan
karena saking kecilnya royalti yang mereka dapatkan selama ini.
Di
statusnya itu, Dewi pun mendapati bahwa pendapatan bagi penulis kerap
dianggap dan diperlakukan sebagai penghasilan pasif. Menurut dia, poin
inilah yang jadi pangkal persoalan soal pajak bagi penulis.
Kesepian
Padahal,
tren buku cetak di Indonesia masih membukukan pertumbuhan di atas 10
persen per tahun, setidaknya menurut Arys Hilman, CEO Republika
Penerbit—perusahaan yang pertama kali melejitkan nama dan karya-karya
Tere Liye.
“Buku masih dicari orang. Sudah ada perhatian dari
Pemerintah, tapi masih parsial pada kementerian-kementerian tertentu,”
kata Arys, saat dihubungi melalui telepon, Jumat siang.
Urusan
buku dan literasi seolah masih jadi urusan kementerian di bidang
pendidikan saja. Kalaupun ada instansi lain, kata Arys, paling Badan
Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Padahal, lanjut Arys, kalau mau
meningkatkan literasi maka pengadaan buku di semua daerah harus
berdasarkan kualitas dan menakar minat pembaca.
“(Praktiknya),
masih ada perpustakaan cari (buku) karena diskon tinggi. Siapa yang mau
datang ke perpustakaan kalau begitu?” ungkap Arys.
Butuh
turun tangannya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi, untuk pemenuhan kebutuhan buku berkualitas di perdesaan.
Belum lagi pilihan buku topik agama, buku soal perempuan, yang
masing-masing ada kementeriannya juga.
kompas.com
Source : Kompas