Thursday, February 3, 2011

Waduh...76,6% Anak Buta Matematika!

JAKARTA - Sebuah studi menunjukkan, 76,6 persen siswa Indonesia setingkat sekolah menengah pertama (SMP) ternyata 'buta' matematika. Ironisnya, kondisi tersebut ditemukan di tengah berbagai prestasi anak Indonesia dalam olimpiade-olimpiade sains internasional.

Matematikawan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Iwan Pranoto, dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan Ikata Guru Indonesia (IGI) akhir pekan lalu menyatakan, kondisi buta matematika itu bahkan tidak berubah sejak 2003 lalu. Selama tujuh tahun, dari skala 6, kemampuan matematika siswa Indonesia hanya berada di level ke-2.

"Situasi ini menunjukkan pendidikan matematika yang sekarang tidak mampu mengangkat ke level 2 atau lebih atas. Pembenahan pendidikan matematika sekolah kita belum berhasil," Iwan menegaskan, seperti dikutip dari keterangan tertulis IGI, Selasa (1/2/2011).

Studi lainnya dari The Program for International Student Assessment (PISA) pada 2010 memperlihatkan kondisi serupa. Posisi Indonesia ada di peringkat ketiga dari bawah, lebih baik daripada Kirgistan dan Panama. Namun, Iwan memaparkan, yang perlu dikhawatirkan bukanlah posisi tersebut, melainkan dua fakta penting lainnya. Pertama, persentase siswa Indonesia yang di bawah level dua sangat besar (76,6 persen), dan persentase siswa yang di level lima dan enam secara statistika tidak ada.

Menurut pendefinisian level profisiensi matematika dari Organisation for Economic Co-operation and Development(OECD), siswa di bawah level dua dianggap tidak akan mampu berfungsi efektif di kehidupan abad 21," ujar Iwan menambahkan.

Iwan menyayangkan, kegiatan bermatematika di Indonesia hanya parsial, dan berpusat pada penyerapan pengetahuan tanpa pemaknaan. Padahal, yang dituntut dunia adalah kegiatan bermatematika secara utuh dan berpusat pada pemanfaatan hasil belajar matematika dalam kehidupan berupa pemahaman, keterampilan, dan sikap atau karakter. Ketidaksesuaian ekspektasi kebermatematikaan pada program pendidikan matematika di Indonesia dan dunia di abad 21 itulah yang menyebabkan kondisi kebermatematikaan Indonesia sangat buruk.

"Praktik pendidikan matematika di Indonesia masih terpusat untuk mempersiapkan siswa melanjutkan ke pendidikan tingkat tersier, tetapi dunia di abad 21 ini justru memandang pembelajaran matematika yang paling utama untuk berfungsi efektif di kehidupan sehari-hari sebagai warga yang peduli, konstruktif, dan piawai bernalar," kata Iwan menandaskan.

Diskusi yang diselenggarakan di sekretariat Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) ini dihadiri oleh Wakil Menteri Pendidikan Fasli Jalal dan Ketua Program GIM Anies Baswedan. Tamu lainnya adalah guru besar ITB Profesor Bana Kartasasmita, sejumlah dosen dari berbagai perguruan tinggi, guru dari sejumlah sekolah, pemerhati pendidikan, serta wakil dari Pusat Penelitian Pendidikan, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, serta Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional(fmh)

Guru Wajib Penuhi 24 Jam Mengajar

SURABAYA � Proses sertifikasi guru 2011 dimulai. Para guru yang akan mengikuti sertifikasi diharapkan memenuhi beban mengajar 24 jam seperti yang disyaratkan dalam Permendiknas Nomor 39/2009 tentang Pemenuhan Beban Mengajar Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan.

Kabid Ketenagaan Dinas Pendidikan (Dispendik) Yusuf Masroch mengatakan, di lapangan masih banyak kendala bagi guru untuk memenuhi syarat itu. Padahal, beban mengajar guru ditetapkan minimal 24 jam tatap muka dan maksimal 40 jam dalam seminggu.

Nah, bagi guru yang belum bisa memenuhi jam mengajar 24 jam, ada beberapa upaya yang bisa ditempuh. Guru bisa mengajar di sekolah formal, baik negeri maupun swasta, sebagai guru kelas atau guru mata pelajaran sesuai dengan sertifikat pendidik yang dimilikinya. ��Atau, bisa mengajar di sekolahnya dengan ketentuan mengajar enam jam tatap muka dalam seminggu,� jelas Yusuf saat sosialisasi sertifikasi guru di hadapan kepala SMA dan SMP se-Surabaya beserta seluruh ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) kemarin (25/1).

Yusuf menambahkan, guru juga bisa mengajar mata pelajaran sesuai dengan rumpun mata pelajaran yang diampunya atau mata pelajaran lain yang tidak ada guru mata pelajaran tersebut di sekolah lain yang ekuivalensinya sama dengan alokasi dua jam pelajaran per minggu.

Alternatif lain, guru bisa menjadi tutor program paket A, B, C, dan C kejuruan atau program pendidikan keaksaraan yang ekuivalensinya sama dengan alokasi dua jam pelajaran per minggu. Juga, bisa menjadi guru bina atau guru pamong pada sekolah terbuka yang ekuivalensinya sama dengan alokasi dua jam pelajaran per minggu.

Selain itu, mereka bisa menjadi guru inti/instruktur/tutor pada kegiatan kelompok kerja guru (KKG) atau musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) yang ekuivalen dengan alokasi dua jam pelajaran per minggu. Mereka juga bisa membina kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka, olimpiade atau lomba kompetensi siswa, KIR, PMR, jurnalistik, dan pencinta alam yang ekuivalen dengan dua jam pelajaran per minggu.

Guru juga bisa membina pengembangan peserta didik dalam bentuk kegiatan pelayanan sesuai dengan minat, bakat, kemampuan, yang ekuivalen dengan dua jam pelajaran per minggu. ��Termasuk, mereka bisa melaksanakan pembelajaran perbaikan (remedial teaching, Red) yang ekuivalensinya sama dengan alokasi jam pelajaran remedial,� jelasnya.

Sementara itu, untuk beban mengajar guru bimbingan atau konselor, mereka paling sedikit mengampu 150 siswa per tahun. ��Bimbingan bisa dilakukan terhadap lebih dari satu sekolah,� ujarnya.

Kepala Dispendik Kota Surabaya Sahudi mengatakan, surat keputusan proses belajar mengajar (SKPBM) sekolah negeri untuk tahun pelajaran 2010�2011 diterbitkan dispendik. ��Tahun lalu, diterbitkan sekolah masing-masing. Untuk menghindari manipulasi atau hal yang tidak diinginkan, surat bukti mengajar 24 jam diterbitkan dispendik dengan usul dari sekolah,� jelasnya.

Untuk sekolah swasta, surat bukti mengajar diusulkan yayasan dan diketahui kepala dispendik. Semua berkas pendukung SKPBM setiap guru menjadi tanggung jawab sekolah. Semua berkas itu, kata Sahudi, diserahkan paling lambat pada 8 Februari 2011. (kit/c7/aww)

Belajar Matematika Menyenangkan dengan Haisobat

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Matematika bukan momok yang menakutkan, melainkan sebuah disiplin yang akan memudahkan seseorang mendalami disiplin ilmu lain. Konsep inilah yang tengah dikembangkan Telkomsel melalui portal www.haisobat.com.

Portal yang disediakan untuk Telkomsel School Community ini sebenarnya telah lama ada. Sekarang, portal haisobat diperkaya dengan koten pendidikan yang lebih menarik dan diharapkan mampu menarik minat kalangan pelajar belajar dengan memanfaatkan konten yang ada di portal ini.

Telkomsel melakukan pembaharuan portal heisobat.com. Portal komunitas kalangan pelajar itu--Telkomsel School Community, sekarang memiliki koten edukasi yang semakin kaya, disamping konten non edukasi. Konten edukasi direncanakan memiliki porsi hingga 80 persen, selebihnya non edukasi.

Konten terbaru yang ada di portal ini adalah Ajabar dan Trigonometri. ''Untuk konten matematika disediakan oleh Dr Teddy Setiawan, seorang ahli matematika dari ITB,'' kata VP Area Jabotabek-Jabar, Venusiana Papasi, usai relaunching portal Hai Sobat di Jakarta, Sabtu.

Venus mengungkapkan model yang dikembangkan akan berorientasi pada edutainment. Dengan metode ini diharapkan para siswa terinspirasi untuk mengerti matematika yang tadinya terbilang berat, menjadi materi yang mudah danmenyenangkan.

Setelah Matematika, Telkomsel berencana memperkaya konten edukasi lain yang sangat diperlukan untuk saat ini seperti Bahasa Inggris dan Fisika. ''Kami berencana menyediakan konten yang berhubungan dengan ujian akhir nasional,'' kata Venus.

Pada menu mengenai matematika, misalnya, dijabarkan dengan metode yang sangat mudah dan menarik. ''Selain menyediakan soal-soal untuk latihan, disediakan pula cara menyelesaikan serta tips dan trik menyelesaikan soal-soal matematika,'' papar Venus.

Selain pendidikan, terdapat menu yang disesuaikan dengan minat kalangan siswa, seperti fashion, musik, video,blog, hingga mencoba kemampuan teknik mereka lewat menu programing. Telkomsel berencana menggelar lomba antar siswa atau lomba antar sekolah, untuk menu non pendidikan. Seperti lomba foto aktivitas sekolah.
Venus mengakui portal Haisobat hanya bisa dinikmati pelanggan Telkomsel saja. Ia menyebutkan portal ini dikembangkan sebagai apreasiasi terhadap loyalitas pelanggan.

Ihwal konten matematika Teddy menyatakan akan menyiapkan materi soal dengan kualifikasi ujian nasional. Soal yang ada bisa diunduh atau diperbanyak. Teddy menjanjikan jumlah soal yang disediakan akan lebih dari cukup. '' Sekalipun sama-sama mengunduh, satu siswa dengan siswa yang lain akan mendapatkan soal berbeda namun kualitas soalnya akan tetap sama,'' kata Teddy.

Ia berharap metode yang dikembangkan akan memotivikasi pelajar untuk mau mendalami matematika. Ia berpendapat penguasaan matematika yang baik akan memberi dampak luas pada ilmu pengetahuan. ''Karena matematika pada dasarnya men drive logika berpikir,'' kata Teddy.

Portal Haisahabat, kata Venus, juga merupakan bentuk kepedulian Telkomsel terhadap dunia pendidikan di Indonesia. ''Sebagai operator telekomunikasi kami juga memiliki kepedulian pada bidang pendidikan,'' kata Venus.

PGRI Minta Pendidikan Tidak Dipolitisasi

JAKARTA � Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), mendesak kepada pemerintah secara keseluruhan untuk menghentikan praktek � praktek politisasi di bidang pendidikan. Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Sulistyo, menganggap politisasi pendidikan telah merusak dunia pendidikan baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.

Menurut Sulistyo, anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN memang cukup besar. Namun pada kenyataannya, dana tersebut harus dibagi ke beberapa kementerian dan lembaga serta dialokasikan besar untuk gaji.

�Jika begitu, maka bisa dikatakan anggarannya sangat sedikit. Apalagi anggota DPR juga banyak yang mengambil anggaran pendidikan untuk melakukan studi banding,� ungkap Sulistyo kepada wartawan di Jakarta, Senin (31/1).

Minimnya dana pendidikan yang ada, berdampak pada tersendatnya proses rehabilitasi sekolah. Sehingga, rencana untuk mencapai standar pelayanan minimal pendidikan sulit untuk terpenuhi.

�Seharusnya dana yang ada digunakan untuk pembangunan atau perbaikan gedung sekolah. Tetapi ternyata itu semua tidak maksimal. Bahkan, proses penambahan guru pun nampaknya juga tidak dijamin oleh pemerintah,� tandasnya.

Masih terkait dengan praktek politisasi pendidikan, Sulistyo juga menyebutkan bahwa hal tersebut sudah cukup marak terjadi di daerah. Ketua Komite III DPD RI itu menegaskan, politisasi pendidikan di daerah sudah berani terang-terangan terutama pada saat pemilihan kepala daerah.

�Sudah banyak yang dimutasi dan diturunkan jabatannya dari Kepala Sekolah menjadi guru banyak guru. Menurut informasi yang ada, politisasi pendidikan ini kerap terjadi di provinsi Maluku, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten,� sebutnya.

Selain itu, pengangkatan tenaga honorer seringkali juga dipolitisasi dengan mengangkat guru yang ada hubungan kerabat dengan pejabat pemerintah daripada guru yang sudah memenuhi syarat untuk diangkat menjadi PNS. Oleh karena itu, Sulistyo meminta agar praktek politisasi pendidikan segera dihentikan.

Ia mengingatkan bahwa politisasi pendidikan telah merugikan para guru dan tenaga pendidik lainnya. �Sudah waktunya semua politisasi pendidikan ini dihentikan,� tegasnya. (cha/jpnn)

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik